Pages

Rabu, 05 Desember 2012

tentang waktu dan sang guru

Duka tak pernah mengenal waktu.
Ya, waktu yang itu.
Yang terkadang terlalu deras memburu.
Seakan tak mampu menanggung sedetikpun kata tunggu.

Dan duka pun tak pernah menunggu.
Hingga sehari yang lalu.

Sehari yang lalu.
Pagi masih begitu biru.
Ketika haru mengetukngetuk pintu kamarku.
Mengantarkan jutaan gelembung awan, lalu menjejalkan semuanya pada dalam mataku.
Yang tak perlu menunggu waktu untuk meleleh menjadi bulirbulir hujan, masih pada mataku.

Sehari yang lalu.
Waktu tak mau menunggu.
Duka mengambil singgasana di sampingku.
Demi menggantikan kealpaan sang guru.

Sehari yang lalu.
Senyumnya tersebar dalam getir manis kenangan yang semerta membanjir pada linikalaku.
Senyum itu.
Senyum yang sama yang kunikmati adanya setiap pagi, bertahun yang lalu.
Senyum yang sama yang masih selalu membayangiku.
Pada acapkali aku mengenangnya dalam sebuah kisah lucu.
Senyum yang sama yang selalu tersungging pada tiap kecupan di tangan dalam sekali temu.

Sehari yang lalu.
Segala kata tumpah ruah laksana hujan pada bulan Desember yang tak pernah mengenal nanti untuk dijatuhkan.
Segala kata yang pernah kau ucapkan.
Segala kata tentangmu yang kami kenangkan.
Katakata bualan.
Katakata perhatian.
Katakata pesan.
Katakata gurauan.
Katakata sindiran.
Segala kata yang kekal dalam kenangan.
Segala kata yang kami simpan rapi dalam bilik keabadian.
Segala kata yang mengungkap betapa adamu begitu berkesan.
Segala kata yang mengisahkan tiadamu yang amat memilukan.

Sehari yang lalu.
Ratusan kilo dari ragamu.
Air mataku tak mampu mengendalikan dirinya untuk tak memperburuk wajahku.

Sehari yang lalu.
Pagi masih begitu biru.
Duka hadir tanpa mengenal waktu.
Dan waktu tak mau mengenal kata tunggu.
Pun maut yang hanya tahu mengabdi untuk membawa kembali sang guru kembali padaMu.

Hari ini, ia telah pergi.
Benar-benar pergi.
Meninggalkan sebaris senyum dalam bilik memori kami.
Mewariskan barisan ilmu yang menganaksungai pada segala penjuru bumi.
Pada kepala manapun ilmunya pernah menjadi sebuah semi.
Hari ini, raga guru kami telah kembali.
Namun dimanapun ia berada, jiwanya adalah ilmu tak pernah mati.

Dan esok, kami akan mengenang anda dalam senyuman bangga.
Kami akan bahagia pernah mengenal anda.
Kan kami abadikan petuah dan ilmu dalam nyata.

Tersenyumlah disana.
Tersenyumlah senantiasa bersamaNya.
Bahagialah, guru. Karena kami telah bisa.
Adamu kan abadi dalam segala amal, ilmu, petuah dan kata yang senantiasa kami jaga.

Teruntuk guruku, ayah, pembimbing dan pendidik sejatiku.

Bapak Ino Yuwono. :')

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Puisinya indah sayang. Meleleh :''