Pages

Jumat, 13 Maret 2015

Perpisahan dalam Sebuah Alasan

Perpisahan
Apakah memang selalu perlu alasan?
Hingga ada yang merasa menjadi korban,
Dan ada yang kemudian dipersalahkan.
Ada yang merasa ditinggalkan,
Dan ada pula yang dianggap meninggalkan.

Perpisahan
Tak bisakah dipandang sebagai sebuah perjalanan?
Atau sesuatu yang sudah ditentukan,
Atau bahkan kebetulan,
Seperti layaknya pertemuan..

(Bagaimana kalian bertemu? Ah..kebetulan saja. Memang sudah jalannya begitu. Lalu kenapa berpisah? Itu karena dia bla bla bla...)

Perpisahan
Bisakah dijelaskan tanpa kenapa, tanpa karena, memang harus begitu adanya.

Tak bisakah?
Sepertinya memang tak bisa.
Selama manusia mendewakan alasan dalam sebuah karena.

Rabu, 05 Desember 2012

tentang waktu dan sang guru

Duka tak pernah mengenal waktu.
Ya, waktu yang itu.
Yang terkadang terlalu deras memburu.
Seakan tak mampu menanggung sedetikpun kata tunggu.

Dan duka pun tak pernah menunggu.
Hingga sehari yang lalu.

Sehari yang lalu.
Pagi masih begitu biru.
Ketika haru mengetukngetuk pintu kamarku.
Mengantarkan jutaan gelembung awan, lalu menjejalkan semuanya pada dalam mataku.
Yang tak perlu menunggu waktu untuk meleleh menjadi bulirbulir hujan, masih pada mataku.

Sehari yang lalu.
Waktu tak mau menunggu.
Duka mengambil singgasana di sampingku.
Demi menggantikan kealpaan sang guru.

Sehari yang lalu.
Senyumnya tersebar dalam getir manis kenangan yang semerta membanjir pada linikalaku.
Senyum itu.
Senyum yang sama yang kunikmati adanya setiap pagi, bertahun yang lalu.
Senyum yang sama yang masih selalu membayangiku.
Pada acapkali aku mengenangnya dalam sebuah kisah lucu.
Senyum yang sama yang selalu tersungging pada tiap kecupan di tangan dalam sekali temu.

Sehari yang lalu.
Segala kata tumpah ruah laksana hujan pada bulan Desember yang tak pernah mengenal nanti untuk dijatuhkan.
Segala kata yang pernah kau ucapkan.
Segala kata tentangmu yang kami kenangkan.
Katakata bualan.
Katakata perhatian.
Katakata pesan.
Katakata gurauan.
Katakata sindiran.
Segala kata yang kekal dalam kenangan.
Segala kata yang kami simpan rapi dalam bilik keabadian.
Segala kata yang mengungkap betapa adamu begitu berkesan.
Segala kata yang mengisahkan tiadamu yang amat memilukan.

Sehari yang lalu.
Ratusan kilo dari ragamu.
Air mataku tak mampu mengendalikan dirinya untuk tak memperburuk wajahku.

Sehari yang lalu.
Pagi masih begitu biru.
Duka hadir tanpa mengenal waktu.
Dan waktu tak mau mengenal kata tunggu.
Pun maut yang hanya tahu mengabdi untuk membawa kembali sang guru kembali padaMu.

Hari ini, ia telah pergi.
Benar-benar pergi.
Meninggalkan sebaris senyum dalam bilik memori kami.
Mewariskan barisan ilmu yang menganaksungai pada segala penjuru bumi.
Pada kepala manapun ilmunya pernah menjadi sebuah semi.
Hari ini, raga guru kami telah kembali.
Namun dimanapun ia berada, jiwanya adalah ilmu tak pernah mati.

Dan esok, kami akan mengenang anda dalam senyuman bangga.
Kami akan bahagia pernah mengenal anda.
Kan kami abadikan petuah dan ilmu dalam nyata.

Tersenyumlah disana.
Tersenyumlah senantiasa bersamaNya.
Bahagialah, guru. Karena kami telah bisa.
Adamu kan abadi dalam segala amal, ilmu, petuah dan kata yang senantiasa kami jaga.

Teruntuk guruku, ayah, pembimbing dan pendidik sejatiku.

Bapak Ino Yuwono. :')

Selasa, 01 November 2011

semangkuk kata, sesuap cinta

mendung yang menggelayut manja tak selalu berarti hujan akan tiba
mungkinkan cinta pun tak berarti bersama??
jika iya,
tukarlah saja cinta dengan kata
agar aku tak kelaparan lalu mati merana

jangan paksa aku mengunyah cinta
padahal hanya asam yang mampu kurasa
tak perlu kau mengumbar rasa
cukup berikan aku semangkuk kata

bukankah cinta hanya bisa menggoda
sedang kata bisa jauh lebih fasih mengumbar cerita kita

jangan paksa aku mengunyah cinta
cukup beri aku sesuap kata.

aku masih terlalu percaya pada-Mu

Aku masih terlalu percaya padaMu.
Pada waktu yang menyimpan berjuta harap semu.
Pada hujan.
Sebentuk tetesan indahMu yang membawa keajaiban.

Aku masih terlalu percaya padaMu.
Dengan lugu menyerahkan diri pada waktu.
Menunggu.
Sedangkan hujan telah lebih dulu berlalu.
Mendahuluiku.


Aku masih terlalu percaya padaMu.
Hingga saat hujanpun tersedu.
Aku masih membisu.
Bertemankan sang waktu.
Terpaku.
Hingga hatiku membeku.

Senin, 31 Oktober 2011

aku masih...

aku masih bergantung pada waktu.
mengiba belas kasih-Mu...

aku masih percaya keajaiban
yang Kau turunkan dalam setiap tetes hujan...

aku masih bersimpuh pada sajadahku
yang telah berlumut dan lapuk tertimbun airmataku...

aku masih terlalu percaya pada-Mu

pada setiap tetes airmata
kulihat Kau menatapku iba
pada setiap tetes airmata
aku merajuk manja

pada setiap detik waktu
Kau menasehatiku
pada setiap detik waktu
aku mengabaikan-Mu

aku tak pernah percaya Engkau murka
airmata beserta luka segala rupa
aku terima
bukan sebagai cela
namun sebagai jalan menuju sempurna

aku masih terlalu percaya pada-Nya